
ORANG selalu bilang: ekonomi itu bukan matematika. Tapi orang lupa, ekonomi juga bukan sihir. Ia berada di ruang abu-abu di antaranya. Dan di ruang abu-abu itu mestinya tumbuh demokrasi hijau; Demokrasi Hijau,
Meminjam terminologi Ketua DPD-RI Sultan Bachtiar Najamudin dalam bukunya Green Democracy (2024); yang tekanan pertumbuhannya bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan bergerak dari bawah ke atas. Dari desa ke kota. Dari sawah ke pabrik. Dari pasar tradisional ke mal.
Oleh karena itu, pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 25% dalam APBN 2026 bukan hanya soal teknis fiskal. Ia adalah bentuk nyata distorsi terhadap pergerakan pasokan uang (M2) yang seharusnya mengalir sampai ke daerah.
Dan lebih jauh lagi, ia mendistorsi konstitusi serta menerbitkan hakikat Green Democracy itu sendiri. Bagaimana mungkin pertumbuhan dikatakan sehat jika denyut ekonominya terputus di arteri paling ujung?
Ini adalah tantangan terbesar Purbaya Yudhi Sadewa, menteri keuangan baru. Ia harus mengembalikan logika ekonomi ke jalur yang sehat, namun sekaligus menghadapi kenyataan: uang Rp200 triliun sudah memutuskan untuk digelontorkan ke sistem keuangan. Targetnya jelas: pertumbuhan ekonomi Indonesia harus naik ke 6%.
Rp200 triliun itu bukan angka kecil. Satu persen PDB Indonesia hari ini kira-kira juga Rp200 triliun. Jadi secara kasar, jika uang sebesar itu benar-benar masuk ke nadi ekonomi, output nasional seharusnya bisa naik sekitar 1%. Dari 5% menjadi 6%. Dari Rp20 ribu triliun menjadi Rp20.200 triliun. Sesederhana itu di atas kertas.
Tapi ekonomi tidak menyebarkan kertas. Mari kita mundur sedikit. Ada istilah yang jarang masuk headline surat kabar: uang inti, base money, atau M0. Itulah uang yang benar-benar nyata: uang kertas, logam, plus saldo giro perbankan di Bank Indonesia. Pondasi uang. Dari sanalah lahir turunan yang lebih gemuk: M1 (uang kartal plus giro) dan M2 (M1 plus tabungan dan deposito).
Perekonomian bergerak bukan oleh M0, melainkan oleh M2. Karena M2 itulah uang yang bisa dipakai untuk belanja, investasi, bahkan spekulasi. Semakin banyak M2, semakin banyak amunisi yang beredar.
Perekonomian bukanlah suatu perhitungan yang lurus
Indonesia mempunyai rasio M2 terhadap PDB sekitar 45%. Artinya, kalau PDB Rp20 ribu triliun, M2 kita di kisaran Rp9 ribu triliun. Pertumbuhan PDB 1% biasanya membutuhkan tambahan M2 sekitar Rp90 triliun. Dengan perhitungan ini, injeksi Purbaya sebesar Rp200 triliun lebih dari cukup. Bahkan berlebihan untuk sekedar satu persen tambahan PDB.
Tetapi lagi-lagi: ekonomi tidak berjalan di rel lurus. Ada yang namanya pengganda. Bank-bank meminjamkan uang jauh lebih banyak daripada simpanan yang ditaruh di mereka. Uang berputar beberapa kali. Secara teori, pengganda bisa tiga kali, empat kali, bahkan lebih. Artinya, kalau Purbaya memasukkan Rp200 triliun ke sistem, efek riilnya bisa jadi Rp600 triliun atau lebih. Cukup untuk menutup gap pertumbuhan dari 5% menjadi 6%.
Namun, pengganda juga bisa mandek. Jika bank memilih memarkir dana di Sertifikat BI atau Surat Berharga Negara, uang berhenti. Kalau masyarakat memilih menabung daripada belanja, uangnya lambat. Kalau perusahaan menahan investasi karena politik belum jelas, uang beku. Pengganda jadi satu. Bahkan bisa lebih rendah.
Di situlah letak risiko besar. Apalagi uang bisa malah berbalik arah. Tambahan Rp200 triliun likuiditas bisa memicu inflasi. Harga-harga naik. Output riil tak bertambah. Nominal PDB mungkin bertambah, namun masyarakat hanya merasa ongkos hidup semakin berat.
Sejarah memberi banyak pelajaran. Amerika Serikat tahun 2008-2009 menyumbang triliunan dolar ke perbankan untuk menyelamatkan perekonomian. Pertumbuhan terselamatkan, namun efek inflasi baru muncul beberapa tahun kemudian.
Jepang menambah uang dengan program “Abenomics” hingga rasio M2/PDB mereka sangat tinggi, namun pertumbuhan tetap 1%. Di sisi lain, Tiongkok bisa menjaga pengganda mereka tetap tinggi karena bank-bank dimobilisasi untuk menyalurkan kredit ke infrastruktur. Jadi pertanyaannya: Indonesia mau jadi Amerika, Jepang, atau Tiongkok?
Pertumbuhan 6%
Purbaya bukan orang baru. Pernah di LPS, pernah di Menko Perekonomian, pernah jadi analis BUMN besar. Dia tahu angkanya. Dia tahu pasar. Dan ia tahu publik akan selalu menilai dari hasil: apakah Rp200 triliun itu benar-benar menjelma jadi 6 persen pertumbuhan.
Saya membayangkan Purbaya seperti Cowboy di gurun. Di tangannya ada keinginan air, 200 liter, yang harus cukup untuk menyelamatkan karavan raksasa bernama Indonesia. Kalau air itu dituangkan ke pasir, habis menguap. Kalau ia simpan sendiri, karavan tetap kehausan. Kalau ia bagi rata dengan disiplin, semua orang bisa mencapai tujuan.
Maksudnya: karavan ini penuh pedagang, birokrat, bankir, politisi. Semua rumah. Semua berebut. Bagaimana Purbaya memastikan Rp200 triliun tidak tumpah di jalan sebelum sampai ke roda ekonomi riil?
Jawabannya ada di instrumen. BI bisa menggelontorkan melalui operasi pasar terbuka, repo, atau giro wajib minimum. Tapi intinya tetap sama: uang harus mengalir ke kredit produktif. Ke pabrik. Ke ladang. Ke proyek energi. Ke UMKM.
Kalau Rp200 triliun itu diangkut ke obligasi pemerintah, pertumbuhan tidak akan loncat. Kalau tidak diangkut ke deposito korporasi, dampaknya kecil. Kalau tidak mengangkut pasar saham untuk ekonometrik, efeknya ke PDB tipis.
Sebaliknya, kalau Rp200 triliun itu dipakai bank untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif, multiplier bisa 3-4 kali. Rp600-800 triliun aktivitas ekonomi baru tercipta. Dan target 6 persen bukan mimpi.
Mari berhitung kasar. Katakan pengganda 3. Tambahan Rp200 triliun = Rp600 triliun. Dibagi PDB Rp20 ribu triliun = tambahan 3%. Kalau baseline kita 5%, meloncat ke 8 persen pun mungkin. Tapi kalau multiplier hanya 1, tambahan Rp200 triliun hanya 1%. Dari 5% menjadi 6%. Itu pun syukur-syukur. Kalau multiplier nol, PDB tetap 5%, tapi inflasi naik.
Itulah taruhan Purbaya. Ekonomi tidak tunduk pada janji. Ia tunduk pada perilaku jutaan rumah tangga, jutaan usaha kecil, ribuan perusahaan, ratusan bank. Ia bergerak dengan rasa percaya. Dengan harapan. Dengan ekspektasi.
Kalau masyarakat percaya ekonomi akan tumbuh, mereka berani berbelanja. Kalau percaya pengusaha pasar akan besar, mereka berani berinvestasi. Kalau bank percaya kredit akan kembali, mereka berani menyalurkan dana. Uang pun berputar. Pengganda hidup.
Jadi mungkin sebenarnya yang sedang disuntik Purbaya bukan hanya uang Rp200 triliun, tapi juga rasa percaya Rp200 triliun. Dan pada akhirnya, kita akan menilai dari hasil. Apakah angka 6% tercapai atau tidak. Apakah Rp200 triliun itu menjadi bensin yang menggerakkan mesin, atau menjadi uap yang hilang ke udara.
Jika berhasil, Purbaya akan tercatat sebagai Menkeu yang bisa mengembalikan Indonesia ke pertumbuhan tinggi. Kalau gagal, ia hanya akan jadi catatan kaki: menteri yang pernah mengucurkan Rp200 triliun tanpa bekas.
Untuk saat ini, kami hanya bisa menunggu. Menunggu bank-bank: apakah mereka berani mengucurkan kredit. Menunggu pengusaha: apakah mereka berani menambah pabrik. Menunggu rakyat: apakah mereka berani berbelanja. Karena pada akhirnya, ekonomi tidak ditentukan oleh Purbaya seorang. Ia ditentukan oleh kita semua.

